Skip to main content

Inflasi Melejit, Harga Rumah di AS Cetak Rekor Baru

Di saat banyak harga komoditas melambung dan daya minat pembeli yang menurun. Harga rumah di Amerika Serikat justru menembus angka tertinggi pada bulan Juni lalu.

Berdasarkan laporan National Association of Realtors (NAR), dikutip dari CNN International, Jumat (22/7/2022) rata-rata harga rumah bulan Juni naik 13,4 persen dari tahun lalu di bulan yang sama menjadi US$416.000 atau Rp6.242.912.000 (kurs Rp15.007).

Di sisi lain, selama lima bulan berturut-turut penjualan rumah yang mencakup rumah tunggal, townhome, kondominium dan koperasi justru menurun hingga 14 persen dari tahun lalu dan 5,4, persen dari Mei kemarin.

Dengan harga yang tinggi, hal ini secara otomatis akan melemahkan permintaan. Lantas, kenapa harga rumah di AS justru meningkat?

Manajer Riset Ekonomi Realtor.com George Ratiu mengatakan pengembang atau pemilik properti masih belum terbiasa dengan dengan kondisi ekonomi dan belum bisa menyesuaikan dengan pasar terbaru.

"Banyak pemilik rumah masih menetapkan harga rumah berdasarkan pasar enam bulan lalu. Ada kesenjangan antara apa yang diminta pemilik rumah dan apa yang mereka dapatkan," kata George dikutip dari Realtor.com, Jumat (22/7/2022).

Hipotek yang dipasang melonjak hingga 5 persen dari tahun lalu di angka 3 persen. Saat ini pembeli rumah dihadapkan pada tagihan hipotek hingga 58 persen lebih tinggi dari tahun lalu. Hal tersebut dipengaruhi inflasi yang mencapai rekor tertinggi di Amerika 9,1 persen.

Kenaikan terjadi termasuk pada harga sewa perumahan. Kondisi ini memaksa banyak orang tak berani meminjam untuk membeli rumah dan keluar dari pasar.

"Pembayaran hipotek terlalu tinggi untuk sebagian besar pembeli rumah pertama kali. Pembeli trade-up tidak akan berdagang karena mereka harus mendapatkan tingkat hipotek yang lebih tinggi," kata Kepala Ekonom Moody's Analytics, seperti ditulis bisnis.com.

Ada pun laporan NAR menyebutkan, pertumbuhan harga rata-rata tertinggi di 3 kota yaitu Miami 40,1 persen, Orlando 30,6 persen, dan Nashville 30,6 persen.

Minta Perlindungan

Sementara itu, Fintech PeerStreet sebuah platform untuk investasi berbasis utang real-estate di AS, telah mengumumkan telah mengajukan perlindungan kebangkrutan Bab 11 di pengadilan di Delaware.

Petisi tersebut diajukan pada 26 Juni dan sidang terakhir atas kasus tersebut diharapkan pada 28 Juli.

David Dunn dari firma penasehat Provinsi telah ditunjuk sebagai chief restructuring officer untuk PeerStreet. Dalam pengajuan pengadilan, Dunn mengutip kondisi pasar yang kurang menguntungkan termasuk kenaikan suku bunga, berkurangnya permintaan hipotek, dan penurunan pendanaan modal ventura sebagai alasan di balik pengajuan Bab 11.

Sebagai bagian dari upaya penghematan biaya dan restrukturisasi, perusahaan telah melakukan serangkaian PHK selama setahun terakhir, mengurangi jumlah karyawannya dari 281 pada Mei 2022 menjadi sekitar 28 pada tanggal petisi.

Didirikan pada tahun 2013 dan berkantor pusat di California, platform PeerStreet berfungsi sebagai pasar dua sisi, menawarkan investor akses ke investasi utang terkait real estat – kelas aset yang disebutnya “secara historis sulit untuk berinvestasi” – dan menghubungkan pemberi pinjaman dan peminjam ke sumber modal.

Melalui pengajuan kebangkrutannya, PeerStreet mengatakan akan menjual secara substansial semua asetnya, termasuk, namun tidak terbatas pada, aset pinjaman hipotek dan platform teknologinya, karena perusahaan ingin "memaksimalkan nilai" untuk semua pemangku kepentingannya.

Perusahaan terakhir mengumpulkan $60 juta dalam putaran pendanaan Seri C yang dipimpin oleh Colchis Capital pada tahun 2019, dengan partisipasi dari investor yang sudah ada Andreessen Horowitz, World Innovation Lab (yang memimpin putaran Seri B $29,5 juta pada tahun 2018) dan Thomvest Ventures. (CNN/futureinvesting/bisnis.com/09)